Saya katakan demikian karena di antara Anda mungkin ada yang merasa akrab dengan salah satu kata pada judul itu, sebaliknya ada pula yang merasakan keanehan dengan salah satu kata lainnya.
Keakraban dan keanehan dengan suatu kata wajar saja dialami oleh setiap orang yang punya naluri kebahasaan. Ini terjadi karena berbagai faktor, misalnya tak pernah mendengar kata itu atau di tempat tersebut kata itu punya makna agak berbeda dan tabu diucapkan di daerah itu.
Untuk kasus bahasa Aceh, sebut saja misalnya boh pik dan boh p’ok yang berarti ‘buah gambas’ dalam bahasa Indonesia’. Di daerah-daerah tertentu di Aceh, boh pik lebih berterima penggunaannya dalam pertuturan tinimbang boh p’ok. Ini berarti masyarakat penutur bahasa Aceh yang melazimkan penggunaan boh pik, umumnya tak familiar dengan boh p’ok. Ini karena bisa saja p’ok maknanya bagi masyarakat itu agak bergeser ke hal-hal yang negatif, dan mungkin pula tabu diucapkan. Apabila dipaksakan penggunaannya, tak menutup kemungkinan akan mengundang gelak tawa masyarakat penutur boh pik.
Kasus sebaliknya, bagi masyarakat pengguna boh p’ok yang belum pernah mendengar boh pik, kata itu menjadi bahan tertawaan karena pik bermakna negatif dan tabu diucapkan. Bila tetap dipaksakan pemakaiannya dalam masyarakat ini, perasaan geli bisa saja muncul, dan sebagian lainnya akan tertawa terpingkal-pingkal.
Gejala seperti boh pik dan boh p’ok ini juga terjadi pada kosakata bahasa lainnya, seperti ipôk. Bagi masyarakat pengguna bahasa Aceh di daerah-daerah tertentu, ipôk yang berarti kantong celana atau kantong baju, sudah lumrah dipakai. Bagi mereka jelas tak ada yang janggal dengan kata ini. Namun demikian, ini tentu saja tak berlaku bagi masyarakat pengguna bahasa Aceh di daerah lain. Bagi sebagian mereka, ipôk maknanya berkonotasi negatif sehingga tabu diucapkan. Oleh karena itu, mereka punya kosakata lain, seperti balum, kéh, atau kantong.
Dalam bahasa Aceh ada pula kata mok. Meski masyarakat pengguna bahasa Aceh di berbagai daerah punya kosakata ini, mereka tak akan menganggukkan makna yang sama untuk kata itu.
Di tempat-tempat tertentu, mok lebih cenderung maknanya hanya kepada alat untuk menyukat beras, bukan untuk minum. Adapun untuk minum, masyarakat ini lebih cenderung menggunakan plôk. Akan tetapi bagi masyarakat penutur bahasa Aceh di daerah lain, mok selain alat untuk menyukat beras, juga semacam cangkir yang dipakai untuk minum. Ini berarti mok punya dua makna, tergantung pada konteks kalimat.
Tambahan lagi, selain kata-kata yang disebutkan di atas, ada pula kata kreutah ‘kertas’. Bagi masyarakat pengguna bahasa Aceh di daerah tertentu, kreutah adalah plastik. Namun ada pula masyarakat tertentu yang dengan tegas membedakan antara kreutah dan plastik.
Perbedaan makna kata seperti yang disebutkan di atas lumrah saja terjadi dalam bahasa Aceh karena adanya perbedaan persinggungan budaya dalam masyarakat. Perbedaan-perbedaan makna seperti itu sepatutnya disikapi dengan bijak karena sebenarnya kata itu mudah retak.[]
Editor: Ihan Nurdin