Bahasa bersistem. Artinya, setiap bahasa memiliki kaidah atau aturan-aturan kebahasaan yang berbeda, baik secara fonologi, morfologi, maupun sintaksis. Oleh karena itu, setiap bahasa tak dapat disamakan pembentukan bunyi, kata, bahkan kalimat.
Sebagai contoh, kalimat “Anjing itu dipukul oleh saya” tak dapat diterima penggunaannya dalam bahasa Indonesia. Ini karena kaidah kebahasaan dalam bahasa Indonesia tidak menghendaki kata ganti orang pertama tunggal dipasifkan dengan diikuti konjungsi oleh di depannya. Menurut sebagian ahli bahasa, kalimat seperti itu muncul karena pengaruh bahasa Sunda.
Berpijak pada konsep di atas, kasus yang sama juga terjadi dalam bahasa Aceh. Ada banyak bunyi, kata, atau kalimat bahasa Aceh disamakan kaidah pembentukannya dengan bahasa Indonesia. Bukan hanya itu, penyamaan kadang kala juga terjadi dalam bahasa itu sendiri. Bahkan, penyamaan yang salah kaprah itu telah ditulis dalam berbagai sumber bacaan dan menjadi rujukan bagi penutur nonbahasa Aceh untuk belajar bahasa Aceh.
Sebut saja beberapa contoh, bintéh yang berarti ‘dinding’ menjadi bintis kala dipakai dalam bahasa Indonesia. Pengubahan bintéh menjadi bintis jelas-jelas salah kaprah karena tidak ada kata bintis dalam bahasa Indonesia. Terjadinya penyamaan seperti ini karena ada sebagian orang beranggapan bahwa setiap kata bahasa Aceh yang berakhir dengan téh menjadi tis bila diindonesiakan. Memang anggapan seperti ini benar, tapi tidak seratus persen cocok.
Tak dapat dipungkiri bahwa dalam bahasa Aceh ada kata yang berakhir dengan téh menjadi tis bila diindonesiakan. Sebut saja contohnya adalah beutéh (bagian kaki antara lutut dan pergelangan kaki, di belakang tulang kering) menjadi betis bila diindonesiakan. Namun, gejala seperti ini tidak berlaku pada semua kata. Tentunya, paléh tidak dapat menjadi palis, payéh tidak dapat menjadi payis, gatéh tidak dapat menjadi gatis, tiréh tentu bukanlah tiris bila dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia.
Lantas, adakah kata bahasa Aceh lainnya yang salah digunakan kala dipakai dalam bahasa Indonesia. Jawabannya tentu saja ada. Contohnya adalah kata yang berakhir dengan èe. Umumnya kata yang berakhir dengan èe menjadi u ketika diindonesiakan, misalnya kayèe dalam bahasa Indonesia disebut kayu, begitu juga dengan bajèe menjadi baju, batèe menjadi batu, palèe menjadi palu. Akan tetapi, ini tentu tak berlaku mutlak. Paku sudah pasti bukanlah pakèe dalam bahasa Aceh karena memang tidak ada kosakata ini dalam bahasa yang dikenal berasal dari bahasa Campa ini. Paku sebenarnya adalah labang dalam bahasa Aceh.
Ada juga kata perkataan yang disebut peukateun dalam bahasa Aceh. Ini juga jelas-jelas salah kaprah. Peukateun dalam bahasa Aceh bukan berarti ‘perkataan’. Kata tersebut berarti ‘perbuatan’ atau dapat juga bermakna ‘mainan’, misalnya dalam kalimat ‘Nyoe supo peukateun?’
Sudah benarkah bahasa Aceh Anda?
Editor: Nurlis E. Meuko