MEDIA Australia The Sydney Morning Herald kembali mengkritisi penerapan hukuman cambuk terhadap wanita korban korban pemerkosaan di Langsa. Kritik itu muncul dalam tulisan berjudul 'Aceh's Sharia Law: Raped and beaten; then formally whipped' yang dipublikasikan pada 9 Januari 2015.
Jika diterjemahkan judul itu berarti 'Hukum Syariat Aceh: Diperkosa dan Dipukuli, lalu Resmi Dicambuk.'
Di bawah ini versi terjemahan dari laporan The Sydney Morning Herald itu.
Akhir November, seorang perempuan muda, sebut saja Yasmeen, naik ke panggung di alun-alun sebuah kita di Provinsi Aceh, Indonesia, dan bersiap-siap untuk dicambuk di depan umum.
Salat jumat baru saja selesai, dan suaminya, Naseer (bukan nama sebenarnya), harus dihukum juga.
Naseer dicambuk terlebih dahulu. Namun begitu algojo bertopeng selesai mencambuk Naseer sembilan kali, Yasmeen pingsan.
"Dia merasa terhina," kata seorang perantara yang tak ingin namanya sebarnya ditulis.
"Dia (Yasmeen) sempat naik ke panggung selama beberapa menit dan kemudian pingsan."
Aceh merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang menggunakan hukum syariat Islam untuk menghukum pelanggaran terhadap agama. Setelah berdiskusi, otoritas syariat sepakat menundak mencambuk Yasmeen sampai setelah melahirkan. Dia diperkirakan melahirkan di bulan Juli dan hukum cambuk membayanginya seperti sebuah teror.
Yasmeen berusia 25 tahun. 'Kejahatannya' adalah ditemukan oleh massa yang merupakan tetangganya (dengan pakaian lengkap) di rumahnya sendiri bersama Naseer, seorang lelaki yang menikahinya saat itu. Atas kesalahan itu, dalam hukum syariat di Aceh disebut khalwat atau berbuat tidak senonoh, keduanya dijatuhi hukuman maksimal sembilan cambukan.
Tetapi bahkan sebelum dicambuk, mereka telah membayarnya dengan kesakitan dan penghinaan.
Menurut Ibrahim Latif, Kepala Dinas Syariat Islam Langsa, pada 10 Mei tahun lalu, sekitar 10 orang di dekat mengawasi rumah Yasmeen pada pukul satu dihari ketika mereka masuk ke rumah.
Setelah pasangan itu masuk ke dalam, delapan orang --tujuh pria dewasa dan satu anak laki-laki 13 tahun-- merangsek ke dalam. Mereka menemukan Naseer dengan memakai celana dalam, dan Yasmeen masih berpakaian lengkap.
Mereka kemudian mengikat Naseer dengan kain dan membawa Yasmeen keruangan lain dan menelanjanginya.
Kemudian tujuh orang bergantian memperkosanya. Sementara bocah usia 13 tahun kemudian mengatakan tidak bersalah dan hanya menyentuhnya sedikit saja. Sementara Naseer mereka pukuli.
Setelah itu, dalam bahasa Latif,"mereka diarak di jalanan." Arak-arakan itu berakhir setelah mereka diguyur air comberan dan meninggalkan trauma.
Pukul 5 pagi, empat jam setelah serangan dimulai, orang-orang membawa mereka ke kepala desa danmelaporkan dugaan melakukan tindakan tidak senonoh. Mereka kemudian menelepon Latif, penegak hukum syariat setempat.
Di kantor Latif, jelas bahwa sementara pasangan itu mungkin telah melanggar hukum syariah, dan massa telah melanggar hukum pidana terhadap pemerkosaan. Latief menelpon polisi, yang kemudian melakukan investigasi.
Delapan bulan kemudian, tiga orang dari massa telah ditangani di bawah hukum sipil untuk pemerkosaan beramai-ramai. Anak berusia 13 tahun dibebaskan karena masih di bawah umur dan dinyatakan tidak bersalah. Dua orang dijatuhi hukuman tiga tahun penjara --mereka seringkali hanya menghabiskan kurang dari dua tahun penjara.
Lima orang lainnya, menurut polisi, "masih dalam pelarian." Meskipun tempat itu berbentuk komunitas semi pedesaan, ternyata selama delapan bulan polisi tidak mampu menemukan mereka.
"Semuanya dilakukan sesuai peraturan," kata kepala polisi Langsa Hariadi meyakinkan.
"Polisi harus benar-benar lebih berupaya menemukan mereka," kata seorang penghubung. Dia mencoba mengadvokasi temannya di lingkungan yang memusuhi siapapun yang mempertanyakan bagaimana hukum syariat diterapkan di Aceh.
Yasmeen dan Naseer kini telah menikah. Karena takut pembalasan lebih lanjut, mereka menolak diwawancarai. Namun mereka menyampaikan pertanyaan: mengapa hukum syariat masih berniat memberikan hukuman maksmal untuk Yasmeen yang mungkin berkhalwat, tetapi tidak mengatakan apapun tentang perzinahan dalam pemerkosaan berkali-kali?
"Pada saat itu, hukum syariat di Aceh hanya menyasar kaum perempuan," kata seorang teman.
"(Yasmeen) mengatakan para pelaku pemerkosaan juga harus menerima dua hukuman, dari hukum syariat dan hukum pidana."
Kepala Dinas Syariat Ibrahim Latif membela keputusannya. Perzinahan dan pemerkosaan tidak menjadi kejahatan di bawah hukum syariat sampai akhir tahun 2014, saat pelanggaran itu terjadi. Di bawah undang-undang (qanun) baru, yang mulai diterapkan tahun ini, perzinahan (bersama dengan homoseksualitas) dikenakan 100 cambukan, dan pemerkosaan 150 kali cambuk.
"Banyak yang mengatakan mencambuk adalah hak asasi manusia seseorang, tetapi hukuman cambuk selesai saat itu juga. Sedangkan hukum pidana bisa mengirim orang ke penjara selama bertahun-tahun," kata Latif.
"(Hukuman penjara) itu lebih tidak manusiawi, mencegah seseorang dari berkumpul bersama keluarganya, tidak bisa bekerja dan memenuhi kebutuhan keluarganya," tambah Latief.
Di media Islam Hidayatullah.com, Latief bahkan bersuara lebih keras. Katanya, wartawan barat telah berlaku tidak adil menyoal perkara khalwat dan pemerkosaan.
Seorang juru bicara Front Pembela Islam mengatakan media memiliki "agenda tersembunyi" untuk memberi kesan buruk kepada syariat Islam.
Adapun Yasmeen, dia akan dicambuk beberapa saat setelah dia punya bayi.
"Begitu kondisinya memungkinkan dicambut menurut dokter, kami akan melanjutkan hukumannya," kata Latief. "Sembilan cambukan. Kami akan melakukannya."[]
Editor: Yuswardi A. Suud