Penulis: Drs. Mawardi Umar, M.Hum., M.A.*
ACEH daerah terakhir yang ditaklukkan Belanda dalam upaya memperluas hegemoni imperialisme mereka di nusantara (Pax-Neerlandica). Penaklukan Aceh baru dilakukan pada 1873 setelah proses negosiasi untuk pengakuan kedaulatan Belanda atas wilayah Kesultanan Aceh ditolak oleh Sultan Aceh. Proses penaklukan Aceh yang awalnya diperkirakan oleh Belanda akan dapat dilakukan dengan mudah ternyata yang terjadi sebaliknya.
Perang Aceh berlangsung sangat lama, alot, menghabiskan biaya yang sangat besar, dan memakan korban yang sangat banyak dari kedua belah pihak. Malahan, pimpinan ekspedisi penaklukan pertama Belanda, Jenderal Kohler, terbunuh dalam Perang Aceh.
Rakyat Aceh menganggap perang dengan Belanda bukan hanya perang melawan dominasi asing atas wilayah Aceh, melainkan juga sebagai perang suci (Perang Sabil) dalam mempertahankan agama dari serangan Belanda yang disimbolkan sebagai kafir sehingga menjadi fardhu ‘ain bagi setiap rakyat Aceh untuk ikut berperang (Baca: T. Ibrahim Alfian, dalam buku Perang di Jalan Allah). Oleh karena itu, walaupun Istana (Dalam) yang merupakan salah satu simbol Kesultanan Aceh telah direbut oleh Belanda, perang terus berkobar dan semakin meluas.
Melihat tingginya semangat anti-Belanda yang dimiliki rakyat Aceh, pada awal pergantian abad (awal abad ke-20), terutama setelah Sultan Aceh menyerahkan diri akibat keluarganya disandera, pemerintah Kolonial Belanda mulai mengubah kebijakannya terhadap Aceh, dari kebijakan penaklukan dengan kekerasan menjadi kebijakan mengambil hati rakyat Aceh.
Itu berkat anjuran Christian Snouck Hurgronje (politik pasifikasi). Tujuannya adalah agar rakyat Aceh tidak melawan lagi dan bersedia bekerja sama dengan Belanda membangun kembali Aceh yang porak-poranda akibat perang berkepanjangan.
Walaupun tidak sepenuhnya berhasil menarik simpati rakyat Aceh, mulai saat itu dilakukanlah pembangunan besar-besaran di Aceh, terutama fasilitas militer, pemerintahan, dan prasarana ekonomi. Kebijakan ini terus dijalankan sampai akhir kekuasaan mereka di Aceh pada 1942, dengan masuknya Jepang.
Berdasarkan hasil kajian S. Margana dan kajian saya sendiri, dalam aspek ekonomi, imperialisme Belanda di Aceh tidak menguntungkan karena biaya yang mereka keluarkan lebih besar daripada keuntungan yang diperoleh. Sebaliknya, dari aspek politik mereka berhasil karena dengan berhasil menaklukkan Aceh mereka berhasil menegakkan Pax-Netherlanica ke seluruh wilayah nusantara.
Proses penegakan imperialisme Belanda di Aceh, walaupun tidak berlangsung lama, meninggalkan banyak jejak (bukti) yang masih dapat disaksikan sampai sekarang, baik bukti fisik maupun nonfisik. Bukti-bukti ini perlu mendapat perhatian serius dari semua kalangan agar terus eksis dan langgeng sehingga sejarah Aceh juga ikut langgeng.
DIBANDINGKAN dengan bukti nonfisik, bukti imperialisme Belanda di Aceh dalam bentuk fisik masih dapat kita saksikan. Malahan ada banyak yang masih digunakan sampai saat ini.
Berikut ini dijelaskan secara singkat beberapa bukti fisik jejak imperialisme Belanda di Aceh yang masih tersisa.
Masjid Raya Baiturahman
Masjid Raya Baiturahman merupakan ikon Kota Banda Aceh dan ikon Aceh. Masjid tersebut juga menjadi salah satu kebanggaan masyarakat Aceh. Tidak banyak orang yang tahu bahwa desain Masjid Raya Baiturahman yang sangat indah kita lihat sekarang pertama sekali dibangun oleh pemerintah Kolonial Belanda setelah mereka membakarnya pada masa agresi dalam upaya melenyapkan simbol perlawanan.
Bentuk asli masjid yang dibangun sejak masa Sultan Iskandar Muda ini tidak memiliki kubah. Denys Lombard, dalam bukunya Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda menggambarkan, Masjid Baiturahman berbentuk bujur sangkar, dikelilingi tembok bergerigi dengan atap bersusun empat dan bubungan yang langsing mirip pagoda.
Pada masa agresi Belanda, Masjid Raya Baiturahman menjadi basis utama pertahanan terakhir pasukan Aceh dalam mempertahankan Istana (Dalam).
Karena dianggap sebagai simbol perlawanan pasukan Aceh, pasukan aggressor Belanda membakar Masjid Raya Baiturahman. Harapannya, dengan dibakarnya masjid ini semangat rakyat Aceh dalam berperang kendur. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya, semangat juang rakyat Aceh malah semakin membara karena mereka menafsirkan bahwa pasukan Belanda menghancurkan simbol Islam dan wajib dilawan walaupun harus dibayar dengan nyawa. Setelah mengetahui hal tersebut, pemerintah Kolonial Belanda berjanji membangun kembali masjid tersebut.
Pada pertengahan Maret 1877 M, dengan mengulangi janji Jenderal Van Sweiten, Gubernur Jenderal Van Lansberge menyatakan akan membangun kembali Masjid Raya Baiturahman. Pernyataan ini diumumkan setelah diadakan permusyawaratan dengan kepala-kepala negeri di sekitar Banda Aceh, dengan kesimpulan bahwa pengaruh masjid ini sangat besar bagi rakyat Aceh. Janji tersebut dilaksanakan oleh Jenderal Mayor Vander selaku Gubernur Militer untuk daerah Aceh.
Arsitek dalam pembangunan ulang ini adalah orang Belanda yang bernama Bruins dari Departemen Van Burgelijke Openbare Warken (Departemen Pekerjaan Umum) Batavia (Jakarta sekarang). Agar polanya tidak menyalahi aturan-aturan Islam, Belanda meminta nasihat penghulu besar dari Garut.
Peletakan batu pertama pembangunan kembali Masjid Raya Baiturahman dilakukan pada Kamis, 9 Oktober 1879. Pembangunan masjid ini diborong oleh seorang China bernama Lie A Sie, yang merupakan Letnan Cina yang berkedudukan di Aceh waktu itu.
Material bangunan didatangkan dari Pulau Pinang, batu marmer dari China, besi untuk jendela dibawa dari Belgia, kayu dari Birma, dan tiang-tiang besi dari Surabaya. Pada 1927 masjid ini dilengkapi dengan menara yang dibiayai oleh perusahaan perkebunan swasta Belanda, Deli Maatschappij (baca: Modul Jelajah Budaya Disbudpar 2013).
Pembangunan kembali Masjid Raya Baiturahman pada masa awalnya hanya satu kubah. Pada 1935, masjid ini diperluas bahagian kanan dan kirinya dengan menambah dua kubah lagi sehingga menjadi tiga kubah. Perluasan dilakukan kembali pada 1975 dengan menambah dua kubah dan dua menara di sebelah utara dan selatan sehingga Masjid Raya Baiturahman mempunyai lima kubah.
Perluasan selesai dikerjakan pada 1967. Kemudian, pada 1991, di masa Gubernur Ibrahim Hasan dilakukan perluasan kembali yang meliputi halaman depan dan belakang, serta masjid itu sendiri. Bagian masjid yang diperluas meliputi penambahan dua kubah, bagian lantai masjid tempat salat, ruang perpustakaan, ruang tamu, ruang perkantoran, aula dan ruang tempat wuduk, dan 6 lokal sekolah.
Kerkhoff
Kerkhoff merupakan kuburan militer Belanda, terutama untuk yang meninggal dalam perang melawan rakyat Aceh. Kuburan Kerkhoff Banda Aceh yang dibangun pada 1880 merupakan kuburan militer Belanda di luar negeri Belanda yang terluas di dunia.
Tempat dibangunnya Kerkhoff tersebut sebelumnya lahan yang ditumbuhi ilalang dan kandang kuda. Di sana dikuburkan 2.200 serdadu Belanda dari yang berpangkat jenderal sampai berpangkat rendah. Pada dinding gapura Kerkhoff tercantum nama-nama serdadu Belanda yang dimakamkan di sana berdasarkan daerah tempat mereka gugur.
Bagi serdadu Marsose yang berasal dari orang Jawa atau Ambon, walaupun namanya tercantum di dinding gapura, mereka tidak dikuburkan di Kerkhoff. Jasad mereka dikuburkan di Taman Makam Pahlawan sekitar 500 meter dari Kerkhoff.
Selama kependudukannya di Aceh, ribuan serdadu Belanda tewas, baik serdadu Belanda sendiri maupun pasukan antigerilya atau Marsose yang serdadunya adalah masyarakat pribumi yang berasal dari Jawa, Ambon, dan Manado.
Pada mulanya, mereka yang tewas di daerah-daerah pertempuran seperti Sigli, Samalanga, Meulaboh, Bakongan, Idi, Paya Bakong, dan lainnya langsung dimakamkan di daerah itu pula. Namun, karena banyaknya kompleks kuburan (graven) yang berceceran di seluruh Aceh, dilakukanlah upaya mengumpulkan jasad mereka menjadi satu. Inilah ide awal dibangunnya kompleks perkuburan militer oleh Belanda dan dinamai Kerkhoff.
Kerkhoff sendiri ternyata tidak hanya digunakan sebagai tempat peristirahatan terakhir bagi serdadu Belanda yang tewas karena pertempuran, tetapi juga yang meninggal karena sakit. Sejumlah pejabat tinggi perwakilan Belanda yang pernah bertugas di Aceh juga mewasiatkan untuk dikuburkan di lahan tersebut, seperti A Ph Van Aken, Gubernur Belanda untuk Aceh yang memiliki sikap lunak dan dikenal baik sehingga menarik simpati masyarakat Aceh. Dia sebenarnya meninggal di Jakarta pada 1 April 1936 dalam kedudukannya sebagai anggota Dewan Hindia Belanda.
Di Kerkhoff ini juga dimakamkan Jenderal JHR Kohler yang tewas ditembak pasukan Aceh di depan Masjid Raya Baiturahman. Pada mulanya Kohler di makamkan di Tanah Abang, Jakarta. Namun, karena makam Kohler terkena penggusuran akibat pembangunan pertokoan di kawasan itu, sebagai peringatan sejarah dan atas permintaan Gubernur Aceh Muzakir Walad, jasad Kohler akhirnya dikubur kembali di Kerkhoff, Banda Aceh pada 19 Mei 1978.
Selain itu juga dimakamkan Jenderal Van Der Heyden, Jenderal PEL, dan Jenderal Van Aken.
Selain serdadu Belanda, di dalam kompleks itu juga terdapat makam putra Sultan Iskandar Muda, Meurah Popok yang dijatuhi hukuman rajam karena berzina.
Oleh karena mengandung nilai sejarah yang tinggi, usaha untuk melakukan perawatan Kerkhoff terus dilakukan. Adalah Kolonel Koela Bhee dan Lamie Djeuram, mantan komandan bivak di Blang Pidie, yang datang kembali ke Aceh pada Juli 1970 merenovasi Kerkhoff. Sumber dana pada awalnya bersifat partikelir dan selanjutnya dilakukan upaya kampanye pengumpulan dana perawatan Kerkhoff di Belanda. Hasilnya, terbentuklah Yayasan Peucut atau yang belakangan dikenal Stichting Renovatie Peucut. Dana dari yayasan tersebut secara rutin disalurkan melalui Pemda Kota Banda Aceh.
Jalan Raya
Cikal bakal jalan raya sebagai urat nadi perekonomian Aceh saat ini, baik jalan pantai timur, pantai barat, maupun jalur tengah adalah dibangun oleh pemerintah Kolonial Belanda. Tujuan utama pembangunan ketiga jalur transportasi ini adalah bagian dari politik pasifikasi dalam memadamkan perlawanan rakyat Aceh. Tujuan lain adalah tujuan militer untuk memudahkan memobilisasi pasukan Belanda yang ada di Banda Aceh ke wilayah-wilayah yang masih bergejolak. Baru kemudian ketiga jalur transportasi ini digunakan sebagai prasarana ekonomi.
Menurut catatan yang ada, pembangunan jalan darat ini dimulai pada pergantian abad. Berdasarkan laporan pada 1900-1901, pembangunan jalan raya berjalan lancar dan telah dapat menghubungkan Sungai Jambu Ayer, perbatasan di barat dengan Kuala Simpang di Tamiang. Penggunaan jalan ini terbukti ketika gubernur sipil dan militer bersama staf, dan satu regu pasukan kavaleri berangkat dari Jambu Ayer (Teupin Teungku di Bayu) ke Idi (50 km), tanggal 30 Agustus dari Idi menuju Bayeun (48 km), pada tanggal 1 September dari Bayeun menuju Keude Langsa, dan keesokan harinya (2 September) menuju Kuala Simpang (masing-masing 24 km).
Setelah kondisi keamanan di bagian lain Aceh mulai membaik setelah 1910, pemerintah Kolonial Belanda melanjutkan pembangunan jalan raya ke wilayah tengah (jalan Gayo) dan ke pantai barat Aceh.
Dari hasil penelitian yang dilakukan pada 1925 dan 1926 terungkap bahwa pembangunan jalan ke pantai barat mempunyai pengaruh positif terhadap proses pasifikasi wilayah tersebut.
Pembangunan kedua jalan tersebut mempunyai makna yang sangat penting terhadap pembukaan kedua wilayah tersebut dari isolasi. Fungsi ini masih terus berlangsung sampai sekarang.
Rel Kereta Api
Sepanjang pantai utara dan timur Aceh, mulai dari Banda Aceh sampai Besitang, masih dapat kita lihat bekas rel kereta api, yang merupakan tanah milik PJKA. Di satu bagian, dari Lhokseumawe ke Bireuen, malahan sudah mulai dibangun kembali jaringan kereta api dalam sepuluh tahun terakhir walaupun hasilnya belum sesuai dengan harapan masyarakat.
Jaringan kereta api di Aceh sebenarnya telah ada dan berjalan sangat baik pada masa kolonial dulu. Pembangunan jaringan kereta api masa kolonial dilakukan dengan sangat serius dengan investasi dana yang tidak sedikit. Perluasan jaringan keluar Aceh Besar ke Besitang, sepanjang 450 km, hanya dilakukan dalam waktu 20 tahun saja.
Sama dengan pembangunan jalan raya, pembangunan jaringan kereta api juga berjalan lancar. Meskipun pembangunan jaringan kereta api Aceh (Atjeh-Tram) sangat bermuatan politik, angkutan ini juga berpengaruh dalam lapangan ekonomi. Jaringan kereta api Aceh yang pertama sekali dibangun pada 1876 hanya dapat menghubungkan Ulee Lheue ke Kutaradja (Banda Aceh) sejauh 5 km, dan berkembang dengan cepat sekali.
Hanya tiga tahun sejak perluasan jaringannya ke Sigli (luar Aceh Besar), 1898, jaringan kereta api Aceh sudah mencapai Idi (Aceh Timur), dan dua tahun kemudian (1903) sudah memasuki Langsa. Selanjutnya, pemerintah berusaha menghubungkan kereta api Aceh dengan kereta api Deli (Deli Spoor) yang jaringannya berakhir di Pangkalan Brandan (Sumatera Timur). Usaha ini direalisasikan dengan pembangunan rel dari Langsa ke Kuala Simpang (1910), Kuala Simpang ke Sungai Liput (1914), dan kemudian mencapai Besitang (1915). Dengan mencapai Besitang, panjang jaringan kereta api Aceh 450 km, dan sekaligus telah terhubung dengan kereta api Deli yang juga telah membuka jaringannya sampai Besitang.
Perkebunan di Pantai Timur Aceh
Saat ini, pantai timur Aceh identik dengan wilayah perkebunan. Hal ini karena kalau kita berjalan dari arah barat, mulai melewati Peureulak sampai ke Besitang di perbatasan Sumatera Utara terhampar perkebunan sawit dan karet yang sangat luas. Cikal bakal perkebunan di daerah ini sebenarnya telah dimulai sejak masa Kolonial Belanda.
Pantai timur Aceh telah mulai dibuka untuk modal swasta Barat sejak 1898, saat Pemerintah Hindia Belanda secara resmi membuka Tamiang untuk perusahaan-perusahaan swasta Barat. Beberapa perusahaan perkebunan tembakau dari Deli memperluas usahanya ke Tamiang. Pada waktu yang sama, perusahaan pertambangan minyak bumi, De Koninklijke Nederlandsche Maatschappij tot Exploitatie van Petroleumbronnen in Nederlandsch Indie, yang sebelumnya melakukan eksploitasi minyak di Telaga Said, Langkat mulai melakukan pencarian minyak ke Tamiang. Kedua usaha ini mengalami kegagalan dan ditutup pada 1901.Kegagalan ini berdampak pada kurang baiknya citra wilayah Aceh Timur bagi para investor selama beberapa tahun kemudian.
Untuk menarik kembali minat pemilik modal swasta, Pemerintah Hindia Belanda mengambil inisiatif membuka perkebunan karet di Langsa pada 1907, dengan konsesi seluas 5.000 ha. Perkebunan ini dikelola oleh Perusahaan Perkebunan Karet Pemerintah Hindia Belanda (Gouvernements-Caoutchouconderneming).Salah satu tujuannya adalah untuk menghilangkan kesan Aceh Timur tidak cocok untuk usaha perkebunan, dan menarik kembali minat kalangan swasta Barat untuk menanam kembali modal mereka di Aceh Timur, khususnya dalam sektor perkebunan.
Selain tujuan pasifikasi, agar penduduk mau bekerja sama dan tidak melakukan perlawanan, di mana dengan masuknya perusahaan-perusahaan swasta Barat diharapkan akan menyerap tenaga kerja lokal dan tersedianya pasar untuk penjualan produksi penduduk, pembukaan pantai timur Aceh sebagai wilayah perkebunan juga mempunyai kepentingan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari motif pembukaan perkebunan karet pemerintah di Langsa yang menggunakan fasilitas pemerintah.
Usaha pemerintah untuk mendatangkan kembali modal Swasta Barat dan meningkatkan iklim penanaman karet di pantai timur mengalami sukses besar dengan pesatnya pemintaan konsesi untuk perkebunan tersebut di wilayah ini.
Perkebunan karet swasta Barat di pantai timur pertama dirintis oleh seorang warga negara Belgia, A. Hallet. Ia memperoleh konsesi di Sungai Liput, Onderafdeeling Tamiang, dari pemiliknya terdahulu, De Grient Dreux. A. Hallet dengan perusahaan perkebunannya Societe Financiere de Caoutchouc mulai melakukan penanaman karet pada konsesi itu pada 1908.
Setahun kemudian seorang warga negara Belanda, bekas asisten kebun pada perusahaan perkebunan tembakau, De Arendsburg, mengikuti jejak De Grient Dreux menanam karet pada konsesinya di Kuala Simpang, Onderafdeeling Tamiang. Perusahaan yang dibuka pada September 1909 dengan nama Tamiang Rubber Estates tersebut memperoleh konsesi seluas 4.752 ha.
Dalam tahun yang sama, satu perusahaan perkebunan lagi didirikan di Onderafdeeling Langsa dengan nama Rubber Maatschappij Sungai Raja. Perusahaan yang didirikan pada Oktober 1909 ini memperoleh lima konsesi, yaitu Kuala Simpang I, Gajah Meuntah, Ie Tabeu, Paya Seungko, dan Krueng Peureulak, dengan luas seluruhnya 14.184 ha. Pada 1910, jumlah perkebunan di Aceh Timur bertambah dua, dan setahun kemudian bertambah tiga lagi.
Sampai dengan 1912, di seluruh pantai timur sudah terdapat 18 konsesi perkebunan karet, dan sembilan tahun kemudian (1921), sudah terdapat 21 perusahaan yang membuka perkebunan karet di Aceh Timur dengan keseluruhan onderneming 31 buah, konsesi 66.803 ha, penanaman 14.086 ha, dan produksi 1.372.187 kg getah.
Pada 1929 di Aceh Timur terdapat 30 perkebunan karet yang tanahnya diberikan hak guna pakai kepada maskapai-maskapai Belanda, Inggris, Belgia, dan satu maskapai Jepang. (Baca Tesis Mawardi Umar, Menyadap Getah untuk Onderneming: Dinamika Sosial Ekonomi Buruh Perkebunan Karet di Aceh Timur, 1900-1939).Setelah kemerdekaan, perkebunan-perkebunan tersebut dinasionalisasikan Perkebunan Negara (PTPN).
Pelabuhan Bebas Sabang
Dalam memori orang Aceh saat ini, Sabang masih identik dengan pelabuhan bebas. Hal itu sangat beralasan mengingat status pelabuhan bebas telah disandang Sabang dalam waktu yang sangat lama, yaitu sejak masa awal imperialisme Belanda di Aceh.
Berdasarkan sumber-sumber yang masih tersimpan rapi dan belum terjamah di negeri Belanda, terbukti bahwa masa keemasan Sabang terjadi justru pada masa Kolonial Belanda. Sabang mulai penting sejak Perang Belanda di Aceh meletus 1873, dengan mulai disinggahi secara rutin oleh kapal-kapal perang Belanda yang menjadikan Sabang sebagai tempat evakuasi tentaranya yang gugur dan terluka dalam perang.
Mengingat letaknya yang sangat strategis untuk memblokade Aceh, baik pantai timur maupun pantai barat, sejak 1884 Teluk Balohan dijadikan sebagai tempat pengisian batubara dan air bagi kapal-kapal perang mereka.
Karena Teluk Balohan relatif dangkal untuk disinggahi oleh kapal-kapal perang yang lebih besar, pelabuhan dipindahkan ke Teluk Sabang yang kedalamannya rata-rata antara 10 sampai 20 vadem (1 vadem = 1,8288 meter). Dengan dikelilingi oleh perbukitan yang menghalangi angin musim dan didukung oleh persediaan air tawar yang berlimpah di Danau Aneuk Laot, tidak salah jika saat itu Sabang dianggap sebagai pelabuhan alam terbaik di dunia (de beste haven in de wereld).
Pembangunan konstruksi pelabuhan Sabang dan fasilitas lainnya mulai dilakukan pada 1890 oleh firma De Lange & Co. dari Batavia (Jakarta). Dengan pertimbangan letaknya pada garis pelayaran internasional yang sangat padat, Pemerintah Belanda mendeklarasikan Sabang sebagai Pelabuhan Bebas pada 11 April 1896.
Untuk tugas operasional sejak 1898, dibentuk sebuah badan “N.V. Zeehaven en Kelenstation Sabang” (Sabang Maatschappij) dengan dukungan dana dari Nederlandsche Handel Maatschappij. Investasi yang sebelumnya hanya lima ratus ribu gulden ditingkatkan menjadi dua juta gulden awal 1900, dan kemudian ditambah menjadi lima juta gulden pada 1923.
Pada 1898 didatangkan sebuah galangan kapal (droogdok) seberat 3.000 ton dari Surabaya, dan pada 1924 didatangkan satu lagi yang beratnya 5000 ton dari Amsterdam.
Untuk pelabuhan dibangun juga sandaran untuk perdagangan dan untuk bahan bakar minyak yang disuplai dari Pangkalan Brandan dan Peureulak. Selanjutnya dibangun juga sebuah bengkel tempat konstruksi dan reparasi berbagai mesin dan pembuatan berbagai alat dari besi.
Pada tahun 1920 dibangun juga pabrik tripleks dan tong untuk karet dan teh “Rubber- en Theekisten-fabriek “R.E.T. Sabang”.
Untuk menghubungkan Sabang dengan pelabuhan Padang, Belawan, Penang, Singapura, Batavia, dan pelabuhan lain di Aceh, ditugaskan kepada Koninklijk Paketvaart Matschappij (KPM), dan untuk menghubungkan Sabang dengan Eropa, Batavia dan Hong Kong, dilakukan oleh perusahaan perkapalan Roterdamsche Lloyd (RL) dan Stoomvaart Maatschappij Nederland. Menjelang akhir masa kekuasaan Belanda, dibangun juga sebuah lapangan terbang di Cot Bak U, dalam rencana menjadi lapangan terbang persinggahan antara Belanda dengan Batavia.
Dengan fasilitas-fasilitas tersebut, terbukti Sabang bukan hanya dapat memacu pertumbuhan ekonomi Aceh, melainkan juga ekonomi Sumatera Timur.
Pada masa keemasannya, Sabang bukan hanya sebagai tempat transit (overscheep) perdagangan Aceh, melainkan juga sampai awal 1820-an, semua tembakau Deli diekspor melalui Sabang. Semua konstruksi besi untuk Sumatera Timur dan Sumatera Barat dibuat di Sabang. Malahan Kerajaan Siam pun memesan beberapa alat pengeruk timahnya di Sabang.
Hal itu mendatangkan pemasukan yang sangat besar bagi Sabang. Keuntungan terbesar yang diperoleh Sabang terjadi pada 1920, sebesar f. 1,202,914. Jumlah kapal dagang yang singgah terbanyak pada 1929, sebanyak 1,124 buah dengan keseluruhan muatan 5,303,210 ton.(Baca Tesis S-2 Mawardi Umar pada Universitas Leiden, Belanda, dengan judul: Free Port, Coaling Station, and Economic Development: Sabang, 1896-1942).
Masa keemasan Pelabuhan bebas Sabang berakhir dengan masuknya Jepang pada 1942 yang menjadikan Sabang sebagai basis pertahanan utamanya dengan menempatkan 6.000 angkatan laut. Konsekuensinya, Sabang menjadi sasaran serangan dari Sekutu. Akibatnya, pengeboman oleh Kapal Perang SS.Tromp pada 1943 telah memorak-porandakan hampir seluruh pelabuhan Sabang. Walaupun tidak semuanya hancur, sebagian besar fasilitas tidak dapat digunakan sama sekali.
Pembangunan kembali fasilitas pelabuhan Sabang dan pemberian status pelabuhan bebas dilakukan setelah kemerdekaan, pada masa Orde Lama, dan dicabut kembali masa Orde Baru.
WALAUPUN tidak sebanyak bukti fisik, proses kolonialisme Belanda di Aceh yang berlangsung tidak begitu lama juga meninggalkan beberapa jejak nonfisik yang masih berpengaruh sampai sekarang. Di antara beberapa jejak nonfisik tersebut, berikut ini digambarkan secara singkat tiga jejak saja.
Birokrasi Modern
Sistem birokrasi modern yang berlangsung di Aceh saat ini, mulai dari tingkat provinsi sampai tingkat kecamatan, sebenarnya telah mulai diterapkan sejak masa Kolonial Belanda berkuasa.
Kekuasaan tertinggi ada pada gubernur yang langsung bertanggung jawab kepada Gubernur Jenderal di Batavia. Jabatan gubernur lebih terpaut dengan organisasi pemerintahan geuvernemen yang membawahkan asisten residen sebagai kepala afdeeling, yang seterusnya membawahkan controleur sebagai kepala onderafdeling.
Pada 1908, Aceh dibagi dalam empat afdeeling, di bawah asisten residen, dan satu landschap, yaitu Groot Aceh, Northkust van Atjeh, Westkust van Atjeh, Oostkust van Atjeh, and landschap Bambel. Pembagian ini dibagi lagi dalam bentuk yang lebih kecil berupa onderafdeling pada 1917, yaitu:
Pertama; Afdeeling Groot Atjeh, yang ber-Ibu Kota Kutaraja, mempunyai lima ondeafdeling, yaitu Kutaraja, Oelee Lehue, Lhok Nga, Seulimum, dan Sabang.
Kedua; Afdeeling Northkust van Atjeh, dengan Ibu Kota Lhokseumawe, mempunyai enam onderafdeling, yaitu Sigli (Pidie), Meureudu, Bireun, Lhokseumawe, Lhok Sukon, dan Takengon.
Ketiga; Afdeeling Oostkust van Atjeh, dengan Ibu Kota Langsa, mempunyai lima onderafdeling, yaitu Idi, Langsa, Tamiang, Serbojadi, dan Gayo Lues.
Keempat; Afdeeling Westkust van Atjeh, dengan Ibu Kota Meulaboh, mempunyai lima onderafdeling, yaitu Calang, Meulaboh, Tapak Tuan, Singkel, dan Simeuleu. (Baca Munawiah, dalam bukunya Birokrasi Kolonial Belanda di Aceh, 1903-1942)
Pembagian inilah yang menjadi cikal bakal sistem birokrasi dan pembagian wilayah di Aceh pada era setelah kemerdekaan sampai saat ini. Ini berarti bahwa dari aspek birokrasi di Aceh juga terjadi kontinuitas.
Pendidikan Modern
Sistem pendidikan modern yang saat ini berkembang pesat di Aceh sudah diperkenalkan oleh pemerintah Kolonial Belanda. Ada dua faktor utama yang mendorong pemerintah Kolonial Belanda memperkenalkan sistem pendidikan modern di Aceh.
Pertama, sejalan dengan visi politik etis, salah satu tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan pegawai administratif yang terampil. Pegawai-pegawai yang berasal dari kalangan penduduk pribumi dijadikan sebagai aparat yang efektif dalam melancarkan sistem ekonomi dan struktur birokrasi kolonial.
Kedua, diharapkan muncul satu kelompok elite baru yang menganut sistem nilai Belanda, menggantikan sistem nilai Islam sesuai dengan anjuran Snouck Hurgronje. Menurut dia, perlawanan rakyat Aceh hanya mungkin dapat diselesaikan kalau golongan bangsawan dari daerah setempat dapat ditarik ke dalam lingkungan kebudayaan dan sistem nilai Belanda. Oleh karenanya, golongan yang pertama sekali diperkenalkan pendidikan Barat adalah golongan uleebalang yang merupakan golongan bangsawan di Aceh.
Sejak 1905 beberapa putra uleebalang, di antaranya dua putra uleebalang Idi Rayek telah dikirim untuk mengikuti pendidikan pada sebuah sekolah di Kutaraja, dan pada tahun 1901 menyusul tiga putra uleebalang lainnya dari Aceh Besar. Pada 1904 mereka mulai dikirim ke Kweekschool (sekolah guru) di Ford de Kock (Bukit Tinggi).
Ada juga di antara mereka yang dikirim ke Bandung, dan bila dianggap sudah mahir berbahasa Belanda, bahkan ada yang dipilih untuk meneruskan ke Opleiding School voor Inlandsche Amtenaren (OSVIA, Sekolah Pamong Praja Bumi Putra) di Serang, Bestuurschool di Batavian, dan MOSVIA di Madiun.
Berbeda dengan daerah lain di Indonesia, jenis pendidikan dasar atau rendah yang diusahakan oleh pemerintah di Aceh sangat terbatas. Sekolah-sekolah tersebut antara lain adalah Volkschool (dengan masa belajar 3 tahun), Vervolgschool (masa belajar 2 atau 3 tahun), Meisjes School (sekolah untuk perempuan dengan masa belajar 2 atau 3 tahun), Tweede Klase School (sekolah kelas dua dengan masa belajar 2 tahun), Inlansche School (Sekolah Melayu), Europeesche Lager School (ELS), Hollandsche Inlandsche School (HIS), Hollandsche Chinesche School (khusus anak-anak orang China), dan Hollandsche Ambonsche School (khusus anak-anak orang Ambon yang berdinas pada militer Belanda di Aceh).Sekolah-sekolah inilah merupakan cikal bakal pendidikan modern di Aceh saat ini.
Budaya Minum Kopi
Minum kopi sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Aceh. Warung kopi merupakan tempat yang paling mudah dicari karena bertebaran di seluruh pelosok wilayah Aceh. Malahan akhir-akhir ini, kopi Aceh telah menjadi trade mark yang mulai menyebar ke luar wilayah ini.
Namun demikian, tidak banyak orang yang tahu bahwa kebiasaan minum kopi merupakan budaya yang diperkenalkan oleh pemerintah Kolonial Belanda awal abad ke-20.
Menurut laporan dari Gubernur Swart (1908-1918), kebiasaan minum kopi dengan sengaja dibudayakan pada masyarakat Aceh masa pemerintahannya. Hal ini dilatarbelakangi bahwa pada saat itu banyak sekali masyarakat Aceh yang menderita penyakit diare, dan banyak yang meninggal karenanya. Setelah dilakukan penelitian, ditemukan bahwa penyebab penyakit diare tersebut karena kebiasaan masyarakat Aceh minum air tidak dimasak terlebih dahulu. Air dari sumur dimasukkan ke guci dan langsung diminum.
Dari fakta itu Gubernur Swart berkesimpulan, kalau dia menganjurkan memasak air terlebih dahulu sebelum diminum pada masyarakat Aceh tidak akan berhasil. Oleh karenanya, dia memperkenalkan budaya minum kopi pada masyarakat Aceh karena untuk menyeduh kopi airnya harus dipanaskan dulu. Kalau tidak, rasa kopi tidak akan enak.
Usaha Swart ini ternyata cukup berhasil. Orang Aceh ternyata sangat menyenangi budaya minum kopi, dan kasus diare di Aceh juga mulai menurun secara drastis. Budaya ini terus berkembang sampai saat ini.
JEJAK sejarah imperialisme Belanda di Aceh, baik fisik maupun nonfisik merupakan bukti nyata pernah bersentuhan dua budaya dalam waktu lebih setengah abad lamanya.
Secara teori, pertemuan dua budaya pasti akan saling mempengaruhi. Jadi, jejak-jejak sejarah imperialisme Belanda di Aceh yang masih tersisa sangat perlu dijaga dan dilestarikan karena dapat menjadi bahan pembelajaran bagi generasi selanjutnya. Seandainya jejak-jejak itu lenyap, seperti Kerkhoff, tidak akan ada gunanya bercerita pada generasi mendatang bahwa orang Aceh patriotik, gagah berani, dan lain-lain.[]
* Penulis adalah Ketua Jurusan Sejarah FKIP Unsyiah dan alumni Universitas Leiden Belanda
Editor: Boy Nashruddin Agus