"Kepada warga Kota Banda Aceh agar pada malam tahun baru Masehi 1 Januari 2015 tidak mengadakanperayaan dalam bentuk apapun yang dikaitkan dengan malam tahun baru termasuk kegiatan yang bernuansa agama seperti zikir, yasinan, tausyiah dan lain-lain."
Seruan yang dicetuskan Walikota Banda Aceh Illiza Saaduddin Djamal itu terpampang besar-besar dalam bentuk pamlet dan baliho di pusat-pusat kota Banda Aceh. Toko-toko diminta tutup pukul 23.00 WIB, satu jam sebelum tahun berganti. Padahal, pada malam-malam lain, toko-toko buka hingga larut malam.
Seperti hantu, malam tahun baru telah menjelma menjadi sesuatu yang menakutkan di Banda Aceh. Larangan ini bukan hanya terjadi tahun ini. Saban tahun berganti, pemerintah kota Banda Aceh disibukkan dengan aneka macam larang melarang. Orang-orang diharuskan berdiam diri di rumah. Sebab jika keluar rumah, Anda telah merayakan kebiasaan orang lain. Kebiasaan bangsa-bangsa yang jauh.
Yang gawat, larangan tahun ini bertambah lagi: orang-orang bahkan dilarang berzikir, yasinan dan tausyiah. Astaghfirullah, begitu menakutkannya malam tahun baru, sampai-sampai untuk beribadah beramai-ramai orang dilarang. Saya tidak tahu bagaimana reaksi Allah terhadap larangan itu. Mungkin senang, mungkin juga berang.
Yang pasti, saya perlu bertanya, "Wahai Illiza, mengapa engkau melarang Kami beribadah di malam tahun baru. Bukankah ibadah itu tak berbatas ruang dan waktu? Wahai Illiza dari mana engkau dapat ilham untuk melarang orang beribadah, dan menentukan waktu larangan beribadah. Wahyu dari mana yang engkau dapatkan itu, wahyu siapa itu."
Larangan dari Walikota Banda Aceh itu --kemudian disetujui para penguasa kota-- disebut-sebut lantaran peringatan malam tahun baru bukan budaya Aceh. Itu adalah budaya orang-orang dari bangsa yang jauh. Bukan budaya kita. Itu budaya mereka.
Soal bukan budaya kita, barangkali memang benar adanya. Tetapi di usia sejarah manusia yang sudah jutaan tahun atau ribuan tahun jika mengacu pada kalender Masehi, siapakah yang bisa mengklaim kebiasaan di suatu tempat adalah mutlak diciptakan oleh manusia-manusia di tempat itu tanpa dipengaruhi kebiasaan dari manusia di tempat lain? Bukankah agama Islam yang hari ini kita anut juga dibawa oleh orang-orang dari negara lain seperti India dan Jazirah Arab? Andai saja para pedagang dari negara lain itu tak singgah di tanoh Aceh pada suatu masa dulu, barangkali kita pun tak mengenal apa itu Islam dan kita pun akan mewarisi Hindu dari nenek moyang kita, yang juga bukan lahir dari gampong-gampong kita.
Ini seperti ketika kopi yang berasal dari Arab menginvasi Eropa sekitar tahun 1600-an. Penguasa Eropa yang saat itu masyarakatnya kebanyakan menenggak bir dan wine terkaget-kaget ketika kebisaan minum kopi ramai-ramai di warung mulai mengganggu stabilitas kerajaan. Itu tak lain lantaran orang-orang berkumpul di warung kopi menggunjing kondisi sosial politik. Puncaknya, ide-ide yang berkembang di warung kopi diyakini ikut meletupkan Revolusi Prancis yang dikenang sebagai salah satu revolusi yang melahirkan perubahan tatanan struktur sosial di Eropa.
Kini, kopi yang datang dari Arab itu, tak lagi ditolak penguasa Eropa. Bahkan, mereka kini memasok kopi dari negara-negara yang jauh, termasuk dari Gayo, Aceh.
Kembali ke soal tahun baru. Mari kita lihat proses lahirnya tahun Masehi yang dihadapi oleh pemerintah kita dengan meminta orang-orang mengurung diri di rumahnya. Bahkan, sekali lagi, untuk beribadah beramai-ramai pun dilarang.
Laman Wikipedia mencatat, tahun baru pertama kali dirayakan pada 1 Januari 35 Sebelum Masehi (SM). Saat itu, Kaisar Romawi Julius Caesar mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah ada sejak abad ketujuh SM. Ketika menciptakan kalender baru itu, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, kota yang didirikan oleh Iskandar yang Agung (sekarang kota Alexandria di Mesir).
Penanggalan ini dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari.
Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh pada tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.
Pada perkembangannya, penanggalan ala Romawi ini diterima dan dipakai di seluruh dunia, meski banyak negara juga punya perhitungan tahun baru tersendiri seperti tahun baru Imlek yang masih diperingati hingga sekarang oleh orang-orang China.
Perkembangan lainnya, penanggalan Masehi itu kemudian dikaitkan dengan kebiasaan orang Nasrani. Ini terjadi ketika pada Paus Gregorius XIII mengubah 1 Januari pada tahun 1582. Dunia kemudian mengikuti penanggalan itu, termasuk kita di Aceh.
Saya tidak tahu sejak kapan penanggalan dari Romawi itu diterapkan di Aceh. Bisa jadi ketika Belanda menjajah Nusantara. Pertanyaannya, apakah ketika penanggalan itu diterima di Aceh tidak ada yang menggugat bahwa itu adalah penanggalan Romawi atau agama lain (jika memang harus dikaitkan dengan agama)? Bahasa lainnya: mengapa saat itu nenek moyang kita tidak bersikukuh memakai penanggalan Islam atau penanggalan Hijriyah yang dihitung berdasarkan rotasi bulan? Apakah saat itu ilmu agama para ulama kita belum 'setinggi' Ibu Illiza?
Lucunya lagi, ketika pemerintah kota menganggap malam pergantian tahun "haram" diikuti lantaran bukan budaya kita, di sisi lain kita tetap dengan sukacita merayakan libur pada hari Minggu. Padahal, jika mengacu kepada sahibul hikayat, libur Minggu ini juga datang dari kebiasaan bangsa Romawi.
Itu adalah hari ketika orang-orang Romawi beribadah. Kebiasaan itu melebar ketika kekuasan Romawi melebarkan pengaruhnya ke seantero Eropa. Kelak, hari Minggu juga dikenal sebagai hari beribadah bagi kaum Nasrani sedunia. Apakah ketika hari ini kita juga menerapkan libur hari Minggu itu berarti kita sedang merayakan kebiasaan mereka yang bukan kebiasaan kita?
Kita sepakat tahun baru tak perlu dirayakan dengan hura-hura. Tetapi tak perlu disangkut-pautkan dengan agama lain. Apalagi sampai melarang orang Islam berzikir dan yasinan.
Kita akan terus terjebak pada polemik hantu malam tahun baru jika masih tidak konsisten. Jika serius menganggap kalender Masehi bukan kebiasaan kita seperti alur pikir Ibu Walikota, maka beralihlah ke penanggalan Hijriyah. Ubahlah hari libur dari Minggu menjadi Jumat. Jika tidak, sampai dunia kiamat pun kita akan sibuk dengan polemik hantu malam tahun baru ini. Jangan salahkan kaum muda jika mereka lebih mengenal pergantian tahun Masehi daripada penanggalan Hijriyah.
Saya tidak tahu, apakah Ibu Walikota Illiza menghitung usianya berdasarkan tahun Hijriyah? Apakah dalam dokumen-dokumen resmi hari kelahirannya ditulis berdasarkan penanggalan Hijriyah? Wallahualam.
Yang pasti, seminim pengetahun saya, Imam Besar Al Ghazhali dalam kitab Ihya Ulumudin yang termasyur itu telah menyebutkan bahwa beragama-lah dengan kebersihan jiwa dan merawat hati dan jiwa dengan menanamkan sifat ikhlas di dalam beragama. Imam Al Ghazali pada masa hidupnya sekitar 1.000 tahun lalu telah mengingatkan kita: beragamalah dengan ilmu.
Pertanyaan mendasarnya: apakah keluar rumah pada malam tahun baru akan mengubah iman di dada Anda?[]
Baca juga:
Masyaallah, Walikota Illiza Rayakan Ulang Tahun Hari Ini